Aku Menangis – 22 Agustus 2024

Tadi siang aku menangis.

Sesenggukan dan menderu-deru secara dramatis seperti seseorang yang baru saja ditinggal mati kekasihnya. Sudah lama aku tidak menangis, bahkan menangis yang level biasa, bukan yang level tiga seperti ini. Aku juga lupa kapan terakhir kalinya menangis, sepertinya kok nyaris empat tahun yang lalu. Satu yang aku ingat adalah ketika pacar dua setengah tahunku pergi karena kami putus cinta, aku tidak menangis. Menangis yang bukan karena makan pedas atau menonton film menye-menye adalah momen monumental di dalam hidupku.


Kurang lebih begini cerita membosankannya. Orang tuaku tidak bercerai. Namun, sepanjang hidup aku tidak ingat mereka pernah harmonis. Selalu ada masalah setiap harinya, jauh ataupun dekat. Ketika ada uang, maupun ketika jatuh miskin. Kondisi paling ideal dan paling tenteram adalah ketika Ayah, Ibu, Aku, dan Adik hidup saling berjauhan. Aku pernah berpikir jangan-jangan kalau ada love language abandonment”, kami semua akan berada dalam boks itu dengan kadar sangat dominan ketimbang jenis love language lainnya.


Kami berempat adalah manusia jelmaan magnet yang memiliki kutub sama. Sesifat, setipe, sekarakter, sangat mudah menarik orang lain dalam kehidupan dan menjadi magnet paling menyenangkan seantero kawanan. Aku mengamati bahwa Ayah, Ibu, Aku, dan Adik adalah orang-orang paling supel serta baik hati dalam pertemanan dan hubungan eksternal (self-proclaimed khusus untukku). Namun pada akhirnya, magnet dengan kutub yang sama selalu saling menolak dan menjauh.


Kembali lagi, tadi siang aku menangis. Aku menangis bukan karena masalah keluargaku. Aku menangis karena sedikit demi sedikit mengurai benang kusut yang ada di antara kami. Sebetulnya, dari dulu aku tidak pernah merasa ini semua tanggung jawabku. Aku sudah cukup bertanggung jawab lho. Bisa membesarkan diriku sendiri sejak masuk SD hingga detik ini. Sekolah dan mengupayakan prestasi, bekerja baik, punya hobi dan sahabat yang lumayan intelek, bisa menabung, jago berinvestasi, dan tidak menjadi bandar narkoba atau open BO. Aku berhasil mengendalikan kegilaan yang sedikit-sedikit keluar saat mengerjakan skripsi atau saat sedang dalam tekanan.


Sayangnya, masalah keluarga itu layaknya pasir di sela jemari kaki. Mau seteguh apa aku mencuekinya, pasir itu selalu mengusik saat aku melangkah ke depan. Intinya, aku menangis karena akhirnya aku melakukan sesuatu dengan truk pasir di dalam sepatuku yang selama ini kubawa-bawa berjalan.


Truk pasir di kakiku, sudah menjelma menjadi segunduk pasir.

Dua puluh delapan tahun butiran pasir itu menumpuk, tanpa aku melakukan apapun.

Mungkin selamanya segunduk pasir itu akan tetap di sana, 

tidak bisa sepenuhnya hilang. 

Tidak apa-apa.

Aku mulai membereskannya dengan segenap keberanian yang kupunya.

Itu yang terpenting.


Tidak ada tepuk tangan.

Tidak ada ucapan terima kasih.

Tidak ada pelukan, apalagi bisikan “You are doing great!”

Aku tentu sangat membutuhkannya, tapi aku juga jadi belajar..

di hidup ini, sesuatu yang sangat berarti getarnya besar di hati.

Tidak perlu ada apresiasi siapa-siapa,

di dalam tangis dan kesunyian jiwaku telah bertumbuh.


Mind Game by Masaaki Yuasa
(one of my favorite anime movie)


Comments