Si Kuning – 31 Juli 2021

Ayam, sapi, kambing boleh dimakan. Begitu pun dengan anjing, kucing, landak, tokek, ular kobra, siput, undur-undur. Asal dimakan dan menjadi nutrisi bagi tubuh, tidak ada satupun hal yang sia-sia. Saya tidak pernah memiliki pandangan bahwa binatang tertentu tidak boleh dimakan dalam rangka survival, di dalamnya termasuk homo sapiens. Hanya saja ketika kita memiliki pilihan yang mudah, lebih baik memilih yang mudah dan sesuai dengan tujuan awal. Melengkapi nutrisi.

Saya kadang berpikir dari mana memperoleh ketegaan yang luar biasa seperti itu. Saya membuka lagi folder-folder pikiran masa kecil. Seperti yang lumrah diketahui, kejadian masa kecil yang luar biasa sering membawa trauma besar di masa tua. Seringnya bukan hal yang baik, namun tidak terhindarkan di masing-masing pribadi. Semakin banyak orang yang kita temui, maka resiko terpapar trauma yang menyebabkan ‘kerusakan’ juga makin besar. Mungkin itu juga salah satu risiko manusia sebagai makhluk sosial. Singkatnya, setelah merenung saya mengingat suatu peristiwa penyebab pandangan itu muncul.

Saya menjalani masa kecil pada kondisi prasejahtera yang lumayan parah, sebut saja miskin. Saat itu krisis moneter sekaligus periode emas pertumbuhan saya. Seperti anak kecil pada umumnya, saya membutuhkan mainan, stimulasi, dan interaksi untuk merangsang otak dan motorik. Saya mulai bicara sendiri dan mempunyai teman khayalan, untuk menghindari keadaan yang berlarut Mama membelikan boneka. Ada masa dimana sebuah boneka tidak cukup, sesuatu yang bergerak dan bisa berinteraksi lebih menyenangkan. Saya ingin hewan peliharaan. Dengan keuangan yg teramat sangat tipis, Mama memutuskan membeli 3 ekor ayam warna-warni.

Dua ayam meninggal seketika, ayam warna-warni memang tersohor memiliki harapan hidup teramat kecil. Untuk ukuran ayam yang usianya baru beberapa hari, kehidupannya sudah ditempa dahsyat. Baru menetas, disemprot/dicelup cat. Bayangkan ketika bayi manusia dilakukan serupa, baru digunting ari-ari disemprot cat, setelah itu dijual dengan harga murah. Pftt. Satu ayam yang berumur panjang menjadi teman mainku. Warnanya kuning lucu, dalam waktu hanya 3 minggu Si Kuning tumbuh besar menjadi ayam burik yang tidak lagi kuning namun lincah.

Keseharian Si Kuning dan saya cukup menarik, kami sering bermain berlarian bersama di kebun. Kadang juga kugotong Si Kuning kemana-mana sembari bermain dengan teman di lapangan. Saat hari sudah malam, Si Kuning ditali kakinya menggunakan rafia di pelataran rumah. Pagi hari sebelum menimba ilmu di taman kanak-kanak, selalu saya sempatkan memberi makan Si Kuning dan berinteraksi sebentar. Setiap harinya di TK saya selalu ingin cepat pulang untuk main dengan Si Kuning. Kehidupan yang sangat sederhana dan indah. Berangkat TK, pulang, main dengan Si Kuning, mandi, berulang selama beberapa minggu.

Siang itu, seperti biasanya saya gelisah ingin cepat pulang dan main dengan Si Kuning. Sesampainya di rumah, tidak kulihat sosok ayam burik ditali rafia seperti biasa. Melihatku pulang dan bingung menanyakan Si Kuning, mama menyuruhku mencari Si Kuning di kebun. Dengan masih berbaju TK, aku lari-lari di kebun mencari Si Kuning, tidak ketemu. Lalu aku kembali ke Mama, masih disuruh mencari beberapa kali lagi. Sampai pada akhirnya saya kesal dan marah. Saya ingin masuk ke dalam rumah dan Mama menjadi panik. 

Lalu kulihat Bapak duduk di muka pintu kamar mandi mencabuti bulu seekor ayam yang sudah mati. Saya menjadi histeris dan menangis kencang sekali sampai perlu waktu yang lama untuk ditenangkan. Mama dan Bapak masih tidak mengaku bahwa itu Si Kuning. Mereka hanya bercerita Si Kuning dicuri maling ayam dan itu ayam lain. Saya tentu tahu tidak benar, karena dalam kondisi saat itu membeli dan makan ayam bukan hal yang lumrah di rumah miskin kami. Apalagi satu ekor ayam utuh. 

Saat itu hari kerja biasa dan hari masih pagi, tetapi Bapak di rumah. Dia tidak pernah pulang sebelum adzan maghrib. Kesimpulanku saat dewasa, hari itu Bapak di-PHK. Bisa jadi menjagal peliharaan anaknya merupakan satu-satunya jalan keluar masalah perut kami hari itu. Masih ada jalan untuk bertahan tanpa meminta belas kasih atau berhutang pada orang lain.

Ketika ayam goreng tersaji, saya masih menangis dan tidak mau memakannya. Mama juga sedih dan tetap memaksa untuk makan. Dilanda rasa lapar, capek berlarian di kebun, dan belum ganti baju akhirnya saya memakan Si Kuning. Berhari-hari setelahnya saya masih menangis dan murung. Namun dasar anak kecil, cerita itu terlupa begitu saja selama belasan tahun dan tiba-tiba muncul kembali ketika sedang berpikir di masa dewasa.

Banyak cerita resesi dan revolusi memakan banyak korban, demi kebaikan katanya. Si Kuning dan cikal bakal rasa iba saya juga salah satu yang dikorbankan. 

Comments