Friedrich Silaban dan 5 Warisan Mahakaryanya




Arsitek Friedrich Silaban (dok: Bank Indonesia)

JAKARTA - Tidak banyak yang tahu bahwa arsitek mahakarya besar seperti Monumen Nasional, Masjid Istiqlal, dan Gelora Bung Karno adalah orang yang sama, yakni Ars Friedrich Silaban (F. Silaban). Ia merupakan arsitek Indonesia paling berpengaruh yang membentuk wajah pembangunan bangsa di awal era kemerdekaan Republik Indonesia. Jeniusnya, hanya menempuh pendidikan HIS Narumonda yang setara SMA, bukan perguruan tinggi.

Perancang bangun yang dijuluki Grace of God oleh Soekarno ini sudah menghasilkan kurang lebih 700 rancang bangun dalam kurun waktu 1912 hingga 1984. Ia mendapat julukan itu karena bisa mengetahui bangunan yang berdiri miring tanpa alat bantu modern. Selain itu, ia juga merupakan salah seorang pendiri ikatan organisasi profesional yakni IAI (Ikatan Arsitek Indonesia).

Akan tetapi, tahukah kamu di balik pembangunan mahakarya ikonik tersebut terdapat hal yang jarang diketahui banyak orang? Berikut 5 mahakarya Friedrich Silaban dan kisah dibaliknya:


1. Monumen Nasional (1961)
Monumen Nasional atau Monas, merupakan landmark tersohor kepunyaan Indonesia. Sempat dua kali disayembarakan, pada akhirnya kompetisi ini dimenangkan oleh F. Silaban. Karyanya dapat menggungguli peserta lain karena ia dinilai mampu menguasai ruang Lapangan Medan Merdeka yang tidak simetris. Mulanya, Monas berukuran 4 kali lipat ukuran yang sekarang sebelum akhirnya diperkecil demi hasil yang terbaik.

Tugu Monas (dok: Kompas)

2. Masjid Istiqlal (1978)
Tema Ketuhanan yang diusung arsitek beragama Kristen ini memenangkan lomba yang dihelat Yayasan Masjid Istiqlal sekitar tahun 1955. Sayembara ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno dengan juri Rooseno, Djuanda, Suwardi, Buya Hamka, Abubakar Atjeh, dan Oemar Husein Amin. Yang menarik dari sayembara ini adalah panitia yang tidak mempermasalahkan latar belakang agama F. Silaban. Masjid Istiqlal dinilai sebagai warisan semangat persatuan, persaudaraan, dan toleransi beragama.Masjid ini membutuhkan 27 tahun pembangunan dari nol hingga berdiri. Dengan totalitas, ia memantau pembangunan Masjid Istiqlal sejak peletakan batu pertama hingga rampung. “Pada 1980-an, papi sudah tidak bisa jalan. Namun, dia bersikeras ingin melihat kubah Istiqlal yang baru saja selesai. Maka, dia ditandu oleh para staf keliling melihat setiap jengkal Istiqlal,” ungkap Poltak Silaban, anak ketiga dari F.Silaban saat diwawancarai Historia.
 Masjid Istiqlal di awal pembangunan (dok: suara.com)

3. Stadion Utama Gelora Bung Karno (1962)
Terjadi perdebatan sengit antara Soekarno dan F. Silaban kala itu. Awalnya Stasion Utama Gelora Bung Karno (GBK) diproyeksikan berdiri di Dukuh Atas yang saat itu merupakan pusat kota. Menurut notula rapat pembahasan pembangunan GBK Silaban mengatakan, “Merupakan hal yang patut disayangkan apabila Presiden menyetujui rencana ini (GBK di Dukuh Atas). Mungkin (bila rencana ini terealisasi) bukan tak mungkin anak cucu akan berkata bahwa kakek kami bodoh sekali membangun GBK di lahan yang dibelah jalan raya. Sebab macetnya luar biasa”. Silaban memberi rekomendasi untuk membangun GBK di area luar kota, akhirnya pilihan jatuh pada Senayan. Pembangunan GBK di Senayan akhirnya membuat perkembangan Jakarta lebih masif ke arah selatan.
 Gelora Bung Karno (dok: Fitri Mohede Vita)

4. Gedung Bank Indonesia, Kantor Pusat Thamrin (1963)
Seperti dalam proyek besar yang lain, pembangunan gedung pindahan De Javasche Bank juga diwarnai perdebatan antara Soekarno dan F. Silaban. Soekarno menghendaki agar bangunan itu tidak menggunakan atap dan ditutup menggunakan dak beton datar. Menanggapi itu, Silaban menolak keras dan ngambek. Sehingga mengeluarkan pernyataan bila Soekarno tetap memaksakan idenya terkait atap itu, sebaiknya Silaban mengundurkan diri dari proyek gedung bank sentral.
Akhirnya, Soekarno mengalah dan membiarkannya untuk bebas bekreasi. Silaban memiliki prinsip untuk memakai atap prisma yang selaras dengan kondisi sekitar dan lingkungan tropis. Dia menggunakan bentuk atap pada gedung Bank Indonesia Thamrin yang sesuai dengan gedung kantor Departemen Pertambangan yang pada saat itu persis berhadapan dengan gedung Bank Indonesia Thamrin.
Awal pembangunan Gedung Bank Indonesia Thamrin karya F. Silaban (doc: Flickr)

5. Monumen Pembebasan Irian Barat (1962)
Patung ikonik yang berdiri megah di Lapangan Banteng ini dibuat sebagai simbol mobilisasi massa dalam perjuangan menyatukan NKRI. Khususnya, Irian Barat yang dalam satu dasawarsa silam masih dibayang-bayangi imperialisme penjajah. Sebelumnya, di atas Lapangan Banteng berdiri patung singa tanda kemenangan Perang Waterloo dan figur Jean Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC. Pada 1942, Jepang meruntuhkan keduanya. Pascakemerdekaan, Soekarno meminta F. Silaban untuk menggarap monumen simbolik itu. Ia lalu membuat monumen menyerupai figur manusia yang lepas dari belenggu rantai di kedua tangan dan kakinya dengan orientasi ke arah Barat. Terlihat jelas pula patung tersebut dibuat sengaja menghadap ke arah Monumen Nasional dan nampak berteriak “Aku ingin bebas!”

Wajah Monumen Pembebasan Irian Barat seolah berteriak “Aku ingin bebas!” (doc: Kumparan)

Arsitek kesayangan Soekarno tersebut meninggal pada 14 Mei 1984. Untuk mengenang seluruh jasa-jasanya, terdapat Jalan F. Silaban yang mulanya bernama Jalan Gedong Sawah di Bogor.

Comments