Seperti janji manis saya kemarin. Hari ini saya menghadirkan ulasan yang saya buat 2 hari. Banyak ulasan cerpen Ibu Pergi ke Surga lainnya. Namun, inilah keunikan pengulas dan kritikus. Masing-masing pengulas/kritikus bisa memotret dan menggali sudut berbeda dari satu karya sama. Jujur, mengulas sangat sulit. Pengulas harus tahu ini dan itu, yang bersinggungan dengan obyek sastra. Itu! Ya itu yang membuat saya jatuh cinta mati-matian dengan kritik sastra! Selamat menikmati!
Ibu Pergi ke Surga dan Sitor Situmorang (sumber: sitorsitumorang.wordpress.com) |
Cerpen
Ibu Pergi ke Surga ditulis oleh Sitor Situmorang di periode 1950-1970an. Beliau
merupakan sastrawan angkatan ’45, corak karya sastrawan di era tersebut lebih
condong ke tulisan yang realis bertemakan gejolak sosial-politik-budaya
Indonesia di awal kemerdekan. Layaknya karya Sitor yang lain, cerpen ini juga
memiliki nuansa budaya Batak yang kental.
Bagi pembaca awam,
cerpen ini menyajikan sebuah balada yang begitu haru. Ironi adalah kesan
pertama yang saya tangkap, terlebih ketika orang-orang mengadakan ibadah natal
di rumah ‘Aku’. Dimana di tengah keriuhan dan kemeriahan pesta, terpapar mayat
Ibu, tanpa siapapun mengetahui kalau dia sudah mati. Seolah mempertanyakan sisi
kepekaan, kepedulian, dan moralitas penganut teis dalam sosial kala itu. Adapun
janggalnya rasa syukur dan kelegaan aneh yang dialami ‘Aku’, ketika Ibu
meninggal sungguh cerminan pribadi urban yang realis dalam menghadapi masalah
hidup.
Lain halnya makna
yang bisa ditangkap bagi sebagian pegiat sastra dan budaya. Kehidupan dalam perbedaan
kepercayaan serta adat-istiadat dihadirkan. Bapak yang secara implisit
disampaikan masih menganut kepercayaan Parmalim, meski sudah dipermandikan secara
Kristen. Masih dirajakan dan duduk sejajar dengan pendeta dalam gereja (layaknya
pemimpin peribadatan dalam doa syukur Parmalim). Suka membaca mantera, makan
tumbukan, dan teguh pada adat. Sesuai dengan latar cerita rumah besar di tepi
danau, Penganut Parmalim paling banyak dan berpusat di Toba Samosir.
Aspek budaya saya
temui, saat Bapak berang kepada ‘Aku’ yang pulang tanpa anak-bininya, pun tak menemukan
adiknya. Bagi orang tua Batak, mempunyai cucu dari semua anaknya adalah tolok
ukur pencapaian hidup tertinggi. Apalagi dalam kondisi Ibu yang sakit keras dan
mendekati ajal, bisa melihat langsung cucu (pahompu)
berarti kelak akan mati dalam kondisi mencapai tujuan hidup (gabe). Sementara itu, bertolak belakang
dengan Bapak, Ibu adalah seorang teis yang taat, Kristen.
Yang paling menarik adalah tokoh ‘Aku’.
Latar belakang Sitor yang sempat berkelana ke Paris dalam periode penulisan
cerpen ini, membuat saya yakin sifat ‘Aku’ banyak diilhami dari pandangan Jean-Paul
Sartre. ‘Aku’, adalah urban terpelajar, sekaligus seorang ateis eksistensialis
sejati. Walau ‘Aku’ sangat risih dengan teis yang mendesaknya untuk beribadah dan
abstain dengan Bapak yang masih suka melakukan ritualnya, dia tidak pernah
menolak, lebih memilih tidak menjawab, atau mengiyakan ketimbang menyakiti
perasaan orang lain. ‘Aku’ secara sadar mengambil keputusannya sendiri dan membatasi
kebebasannya itu, tanpa mengganggu kebebasan orang lain.
Cerpen ini apik, banyak informasi
implisit yang bisa digali baik kebudayaan maupun ideologi. Semakin jauh mencari
akan semakin terperanjat dan kagum dengan gaya penulisan Sitor. Cerpen sekelas
ini, membuat banyak cerpen yang terbit di era milenial terasa recehan. Akhir
kata, “Aku pergi menuju cerpen-cerpen milenial tidak bernas, dengan api sebuah
korek api, sebentar saja saja ia kubakar menjadi unggun api seperti di masa
kanak. Abunya berserak di halaman dan tersebar dihembus angin ke arah danau
biru di bawah.” (cfy/2017)
Comments
Post a Comment