Lokakarya Menulis Kritik Sastra Bersama Goenawan Mohamad: Seboeah Perdjoeangan !

Saya terjangkit penyakit parah.
         Penyakit yang saya kebal semasa kuliah.
Saya berusaha menyembuhkan diri sendiri.
Saya kecanduan gawai. TOLOOOOONG~

Belajar belajar belajar~ Temukan saya!
(doc: Salihara)
PROLOG

    Halo masyarakat, dalam masa penyembuhan kecanduan terhadap gawai, saya akan mengisi waktu dengan menulis di blog. Saya merasa semakin gawat akhir-akhir ini, jadi hiatus adalah jalan yang saya tempuh. Instagram tidak saya pergunakan untuk sementara waktu. Rencananya, minimal satu bulan. Twitter, tempat saya ngoceh, ngigau, dan sebagainya saya nonaktifkan juga. 
    Dulu sekali, semasa kuliah saya tidak pernah punya paket internet, saya hampir tidak pernah membawa ponsel ke kampus. Betapa gambaran remaja yang merdeka dan berdikari walaupun sering salah masuk kelas. Sekarang, wuh boro-boro sekian detik saja tidak memegang ponsel tangan saya GATEL! GA TAHAN!
    Sekian dulu curhatnya, tujuan unggahan tulisan ini bukan keluhan. Saya hendak menceritakan pengalaman di hidup yang lumayan berkesan. Mulanya begini, karena satu dan lain hal, bekerja di kantor akhir-akhir ini jadi begitu membosankan. Saking membosankannya, saya tidak bisa berhenti melihat jam tiap jam. Kebelet pulang. Di sela waktu kebosanan itu saya mencari kegiatan untuk akhir pekan bila tidak punya janji main dengan teman, seperti ikut lokakarya atau seminar.


∞ ∞ ∞
Buku Jadwal
                Saya menemukan oase, bagi jiwa yang haus ilmu dan ramah lingkungan ini. Komunitas Salihara! Setahu saya bulan Bahasa jatuh di September. Namun, di bulan Oktober ini, Salihara menyelenggarakan LIFEs 2017 (Literature & Ideas Festival) temanya Sastra Amerika Latin. Dari situs mereka, saya menemukan banyak sekali kegiatan. Satu di antaranya adalah lokakarya yang menarik, yakni Kepenulisan Kritik Sastra. Sebagai seorang remaja tua yang sadar diri dan kemampuan mengarang yang lebih buruk dari apapun, sekaligus hasrat ingin memfokuskan diri sebagai pengulas. Sayapun mendaftar.



     


           Lokakarya yang saya ikuti ini kebetulan berbayar. Biayanya Rp150,000 hanya satu pertemuan, itupun tidak tahu durasinya. Lumayan mahal juga, tapi karena alasan “saya sudah bekerja” jadi saya ikut saja. Tidak cukup sampai di harga yang lumayan. Ada banyak persyaratan yang diminta.



Persyaratannya, peserta wajib mengirimkan CV, daftar buku bacaan, dan sampel tulisan (kritik). Ketiganya bisa saya penuhi dengan mudah. Untuk yang tersulit, sampel tulisan, saya punya satu yang hebat, saya pajang juga di blog ini, ulasan MAJOI-nya Taufiq Ismail. Untuk daftar buku bacaan, karena ada Goodreads, segalanya menjadi lebih mudah. Saya kirimlah semuanya dengan hati riang.




Keesokan harinya saya menerima surel balasan yang menyatakan bahwa saya lolos persyaratan tahap satu. Sural tersebut juga menginfokan sesuatu. “Tahap dua adalah membuat ulasan singkat cerpen karya Sitor Situmorang berjudul ‘Ibu Pergi Ke Surga’ atau Asrul Sani berjudul ‘Sahabatku, Cordiaz’.”
Ha?
Tahap dua?
Saya pun mengumpat dalam hati.
“Woo Asu.”
Kira-kira begitu.


Persyaratan kedua ini menyebalkan, karena saya tidak tahu siapa mereka, Sitor dan Asrul (namun akhirnya saya tahu kok). Saya begitu panas dan tertantang. Saya mencari seluk beluk mereka berdua, karir dan karya. Saya berusaha mencari buku fisik, karena pengamatan dan membacanya akan lebih nyaman. Ternyata, mencari buku fisik sangat sulit. Sudah ke basis data berbagai perpustakaan dan cek lewat ketersediaan buku di toko buku bekas, baru, aspal, TIDAK KETEMU! Adapun sebuah toko buku di Bandung, namanya Kineruku, memiliki satu buah stok buku Sitor itu.
Seratus Ribu Rupiah harganya.
Belum ongkos kirim.
Tipis banget.
“Kimak.”
Kataku.
Dalam hati tentunya.

                Akan tetapi, saya tidak menyerah. Kenapa sih saya begitu ngeyel ikut lokakarya berbayar dan mahamenyusahkan ini? Pembicaranya. Pembiacaranya adalah sosok yang saya kagumi pemikirannya. Rekam jejaknya. Sentuhannya pada literasi nasional. Founding Father Tempo. Tempo. Goenawan Mohamad. GM. That GM yang tersohor. Mau mati w rasanya. Kurang selangkah lagi. Dituturi langsung how to write properly oleh beliau dalam suatu kelas berkapasitas kecil dan privat. Mimpi apa?



Frida Kahlo, Ernesto 'Che' Guevara,
dan Zorro (?)
               Setelah bergelut di dunia maya, saya temukan juga di Youtube. Pembacaan cerpen Sitor Situmorang, Ibu Pergi ke Surga. Asrul Sani lamat-lamat saya tinggalkan, karena kemustahilan memunculkan cerpennya. Harusnya saya bisa memilih diantara dua karya, namun karena keadaan, saya hanya disuguhi satu sajian. Tak apalah. Saya tidak keberatan. Nemu saja sudah syukur. Saya dengarkan video itu berkali-kali dalam dua hari. Di kantor, di kos, saat mandi, saat setrika, sampai saya agak hafal isi dan nadanya. Untung penuturnya sangat lihai dan jago sekali memilih intonasi. Saya nyaman saja. 




Dua sampai tiga hari kemudian, lahirlah ulasan mutakhir saya. Ulasan yang dipikirkan dengan gila-gilaan. Saya berselancar mati-matian di dunia maya mencari bahan. Saya bertanya pada kawan saya, Dinar, mahasiswa Sastra Indonesia, untuk mendapat struktur kritik sastra yang paling tidak, pantas dan benar untuk dipakai. Memberondong kawan saya yang lain dengan daftar pertanyaan yang bentuknya menyerupai cerbung, Ganang, mengenai eksistensialisme, nihilisme, psikoanalisis untuk memutakhirkan ulasan. Tidak cukup disitu, saya sedikit membaca bagian buku dengan kutipan Pram ihwal kritik sastra! Jelas-jelas GM manikebu, masih saya lengkapi dengan bumbu lekra di ulasan itu agar utuh seperti pelangi. Selain teknis tetek bengek di atas, tak luput jug saya mempelajari Parmalim, adat kematian batak, konsep religi batak di awal kemunculan agama impor.
Lahirlah tulisan yang amat sangat panjang sekali banget,
Ya,
Sepanjang satu halaman A4.
Kurang.
Ukuran fontnya 12.
Spasi 1,5.
Benar-benar pecundang.

Saya tekankan dalam otak saya untuk tenang dan percaya diri, yang kala itu terlalu overexcited dan senantiasa kepingin muntah karena stres. Walaupun sedikit, ini adalah saripati. Ekstrak ulasan. Kulit manggis saja ada ekstraknya. Ya, menyamakan tulisan saya dengan kulit manggis adalah obat penenang.
Saya kirim dengan takut-takut dan ketegangan bertubi. Berbekal keterangan, tolong kabari juga kalaupun saya tidak lolos. Seminggu saya tunggu, tiada kabar. Sementara acara sudah tinggal menghitung hari. Pupus sudah. “krak” Begitu irama hati saya.
Seperti permintaan saya di awal, mereka akan mengabari apapun keputusannya. Surel masuk di H-2 lokakarya. Saya telah memiliki rencana lain untuk mengikuti kelas menyulam di Bintaro.
Yah, pasti sudah tahu kan kelanjutannya?



Bapake menjelaskan, ojo fokus ke sesembak momod >_<
(doc: Salihara)
Hehehehe, ulasan cerpen audio dari Sitor Situmorang ‘Ibu Pergi ke Surga’ dan ilmu kepenulisan kritik sastra yang didapatkan saat lokakarya kelak akan saya unggah juga :)
 
Nyimak hehehe~
(doc: Salihara)



Harap bersabar.
Keyboardist negara sungguh kekurangan waktu membagi ilmunya.

Comments