Saya terjangkit penyakit parah.
Halo masyarakat, dalam masa penyembuhan kecanduan terhadap gawai, saya akan mengisi waktu dengan menulis di blog. Saya merasa semakin gawat akhir-akhir ini, jadi hiatus adalah jalan yang saya tempuh. Instagram tidak saya pergunakan untuk sementara waktu. Rencananya, minimal satu bulan. Twitter, tempat saya ngoceh, ngigau, dan sebagainya saya nonaktifkan juga.
Saya
menemukan oase, bagi jiwa yang haus ilmu dan ramah lingkungan ini. Komunitas
Salihara! Setahu saya bulan Bahasa jatuh di September. Namun, di bulan Oktober
ini, Salihara menyelenggarakan LIFEs 2017 (Literature & Ideas Festival)
temanya Sastra Amerika Latin. Dari situs mereka, saya menemukan banyak sekali
kegiatan. Satu di antaranya adalah lokakarya yang menarik, yakni Kepenulisan
Kritik Sastra. Sebagai seorang remaja tua yang sadar diri dan kemampuan
mengarang yang lebih buruk dari apapun, sekaligus hasrat ingin memfokuskan diri
sebagai pengulas. Sayapun mendaftar.
Lokakarya yang saya ikuti ini kebetulan berbayar. Biayanya Rp150,000 hanya satu pertemuan, itupun tidak tahu durasinya. Lumayan mahal juga, tapi karena alasan “saya sudah bekerja” jadi saya ikut saja. Tidak cukup sampai di harga yang lumayan. Ada banyak persyaratan yang diminta.
Keesokan harinya saya menerima surel balasan yang menyatakan bahwa saya lolos persyaratan tahap satu. Sural tersebut juga menginfokan sesuatu. “Tahap dua adalah membuat ulasan singkat cerpen karya Sitor Situmorang berjudul ‘Ibu Pergi Ke Surga’ atau Asrul Sani berjudul ‘Sahabatku, Cordiaz’.”
Penyakit yang saya kebal semasa kuliah.
Saya berusaha menyembuhkan diri sendiri.
Saya kecanduan gawai. TOLOOOOONG~
Belajar belajar belajar~ Temukan saya! (doc: Salihara) |
PROLOG
Halo masyarakat, dalam masa penyembuhan kecanduan terhadap gawai, saya akan mengisi waktu dengan menulis di blog. Saya merasa semakin gawat akhir-akhir ini, jadi hiatus adalah jalan yang saya tempuh. Instagram tidak saya pergunakan untuk sementara waktu. Rencananya, minimal satu bulan. Twitter, tempat saya ngoceh, ngigau, dan sebagainya saya nonaktifkan juga.
Dulu sekali, semasa kuliah saya
tidak pernah punya paket internet, saya hampir tidak pernah membawa ponsel ke
kampus. Betapa gambaran remaja yang merdeka dan berdikari walaupun sering salah
masuk kelas. Sekarang, wuh boro-boro sekian detik saja tidak memegang ponsel
tangan saya GATEL! GA TAHAN!
Sekian
dulu curhatnya, tujuan unggahan tulisan ini bukan keluhan. Saya hendak menceritakan
pengalaman di hidup yang lumayan berkesan. Mulanya begini, karena satu dan lain
hal, bekerja di kantor akhir-akhir ini jadi begitu membosankan. Saking
membosankannya, saya tidak bisa berhenti melihat jam tiap jam. Kebelet pulang.
Di sela waktu kebosanan itu saya mencari kegiatan untuk akhir pekan bila tidak
punya janji main dengan teman, seperti ikut lokakarya atau seminar.
∞ ∞ ∞
Buku Jadwal |
Lokakarya yang saya ikuti ini kebetulan berbayar. Biayanya Rp150,000 hanya satu pertemuan, itupun tidak tahu durasinya. Lumayan mahal juga, tapi karena alasan “saya sudah bekerja” jadi saya ikut saja. Tidak cukup sampai di harga yang lumayan. Ada banyak persyaratan yang diminta.
Persyaratannya, peserta wajib mengirimkan CV, daftar buku bacaan, dan
sampel tulisan (kritik). Ketiganya bisa saya penuhi dengan mudah. Untuk yang
tersulit, sampel tulisan, saya punya satu yang hebat, saya pajang juga di blog
ini, ulasan MAJOI-nya Taufiq Ismail. Untuk daftar buku bacaan, karena ada
Goodreads, segalanya menjadi lebih mudah. Saya kirimlah semuanya dengan hati
riang.
Keesokan harinya saya menerima surel balasan yang menyatakan bahwa saya lolos persyaratan tahap satu. Sural tersebut juga menginfokan sesuatu. “Tahap dua adalah membuat ulasan singkat cerpen karya Sitor Situmorang berjudul ‘Ibu Pergi Ke Surga’ atau Asrul Sani berjudul ‘Sahabatku, Cordiaz’.”
Ha?
Tahap dua?
Saya pun mengumpat dalam hati.
“Woo Asu.”
Kira-kira begitu.
Persyaratan kedua ini menyebalkan, karena saya tidak tahu siapa mereka, Sitor
dan Asrul (namun akhirnya saya tahu kok). Saya begitu panas dan tertantang. Saya
mencari seluk beluk mereka berdua, karir dan karya. Saya berusaha mencari buku
fisik, karena pengamatan dan membacanya akan lebih nyaman. Ternyata, mencari
buku fisik sangat sulit. Sudah ke basis data berbagai perpustakaan dan cek
lewat ketersediaan buku di toko buku bekas, baru, aspal, TIDAK KETEMU! Adapun sebuah
toko buku di Bandung, namanya Kineruku, memiliki satu buah stok buku Sitor itu.
Seratus Ribu Rupiah harganya.
Belum ongkos kirim.
Tipis banget.
“Kimak.”
Kataku.
Dalam hati tentunya.
Akan
tetapi, saya tidak menyerah. Kenapa sih saya begitu ngeyel ikut lokakarya berbayar dan mahamenyusahkan ini? Pembicaranya. Pembiacaranya adalah sosok yang saya
kagumi pemikirannya. Rekam jejaknya. Sentuhannya pada literasi nasional. Founding Father Tempo. Tempo. Goenawan Mohamad. GM. That GM yang tersohor. Mau
mati w rasanya. Kurang selangkah lagi. Dituturi langsung how to write properly oleh beliau dalam suatu kelas berkapasitas
kecil dan privat. Mimpi apa?
Frida Kahlo, Ernesto 'Che' Guevara, dan Zorro (?) |
Setelah
bergelut di dunia maya, saya temukan juga di Youtube. Pembacaan cerpen Sitor Situmorang, Ibu Pergi ke Surga. Asrul Sani lamat-lamat saya tinggalkan, karena
kemustahilan memunculkan cerpennya. Harusnya saya bisa memilih diantara dua
karya, namun karena keadaan, saya hanya disuguhi satu sajian. Tak apalah. Saya
tidak keberatan. Nemu saja sudah syukur. Saya dengarkan video itu berkali-kali
dalam dua hari. Di kantor, di kos, saat mandi, saat setrika, sampai saya agak
hafal isi dan nadanya. Untung penuturnya sangat lihai dan jago sekali memilih
intonasi. Saya nyaman saja.
Dua sampai tiga hari kemudian, lahirlah ulasan mutakhir saya. Ulasan
yang dipikirkan dengan gila-gilaan. Saya berselancar mati-matian di dunia maya
mencari bahan. Saya bertanya pada kawan saya, Dinar, mahasiswa Sastra
Indonesia, untuk mendapat struktur kritik sastra yang paling tidak, pantas dan
benar untuk dipakai. Memberondong kawan saya yang lain dengan daftar pertanyaan
yang bentuknya menyerupai cerbung, Ganang, mengenai eksistensialisme, nihilisme,
psikoanalisis untuk memutakhirkan ulasan. Tidak cukup disitu, saya sedikit membaca
bagian buku dengan kutipan Pram ihwal kritik sastra! Jelas-jelas GM manikebu,
masih saya lengkapi dengan bumbu lekra di ulasan itu agar utuh seperti pelangi.
Selain teknis tetek bengek di atas, tak luput jug saya mempelajari Parmalim,
adat kematian batak, konsep religi batak di awal kemunculan agama impor.
Lahirlah tulisan yang amat sangat panjang
sekali banget,
Ya,
Sepanjang satu halaman A4.
Kurang.
Ukuran fontnya 12.
Spasi 1,5.
Benar-benar pecundang.
Saya tekankan dalam otak saya untuk tenang dan percaya diri, yang kala
itu terlalu overexcited dan senantiasa
kepingin muntah karena stres. Walaupun sedikit, ini adalah saripati. Ekstrak
ulasan. Kulit manggis saja ada ekstraknya. Ya, menyamakan tulisan saya dengan
kulit manggis adalah obat penenang.
Saya kirim dengan takut-takut dan ketegangan bertubi. Berbekal keterangan,
tolong kabari juga kalaupun saya tidak lolos. Seminggu saya tunggu, tiada kabar.
Sementara acara sudah tinggal menghitung hari. Pupus sudah. “krak” Begitu irama
hati saya.
Seperti permintaan saya di awal, mereka akan mengabari apapun keputusannya.
Surel masuk di H-2 lokakarya. Saya telah memiliki rencana lain untuk mengikuti
kelas menyulam di Bintaro.
Yah, pasti sudah tahu kan kelanjutannya?
Bapake menjelaskan, ojo fokus ke sesembak momod >_< (doc: Salihara) |
Hehehehe, ulasan cerpen audio dari Sitor Situmorang ‘Ibu Pergi ke Surga’
dan ilmu kepenulisan kritik sastra yang didapatkan saat lokakarya kelak akan
saya unggah juga :)
Harap bersabar.
Keyboardist negara sungguh kekurangan waktu membagi ilmunya.
Comments
Post a Comment