Hopeless Opus: College Last Week, Senior Year


Juni 2016
    Hai pembaca, entah dimanapun kalian berada dan entah angin apa yang menyurupi kalian sehingga datang ke blog berdebu dan tidak jelas ini.

    Kali ini saya ingin bercerita kehidupan pribadi. Di postingan yang dulu saya pernah berkisah tentang kampus, euforia remaja yang baru masuk kuliah. Jadi saya merasa punya utang untuk melengkapi kisah itu. Cukup aneh membayangkan minggu ini adalah minggu terakhir saya duduk dan mendengar dosen bergumam, atau entahlah istilah lain yang membosankan.

Lega

Lega

Lega!

    Itulah yang ada di pikiran. Akhirnya semua ini selesai. Ngomong-ngomong, bukannya pamer, saya kuliah di PKN STAN, dulunya STAN. Wah pasti saya pintar. Tidak. Kata “pintar” yang identik dengan angka-angka, jauh sekali dari gambaran diri ini. Huhu. Biar tahu saja, nilai Fisika UN 4.75, Mat 6 bisa disebut dungu. Angka kembang kempis untuk lulus.

    Terlihat seperti takdir yang menyapa di depan pintu kelulusan SMA, karena saya tidak belajar serius untuk ikut tes ini. Ya, hanya baca-baca dan mengerjakan beberapa lembar soal SBM, itupun seminggu sebelum tes tulis. Tapi untuk tes fisik, saya memang lari-lari tidak kenal waktu, di kompleks, di lapangan TNI, di kampus dekat rumah. Pagi, siang, sore, malamnya tracking pake sepeda Mendit—Tumpang minimal 10km setiap harinya. Hari H, saya tepar. Sakit karena kecapekan. Saya akalin makan telor ayam kampung mentah(sumpah ini *^!&%& banget rasanya) sama minum Kratingdaeng. 
    Eh pas tes lari, paginya anterin adek sekolah dulu(masih SMP), akibatnya dapet nomor antrian jam 12 siang. Waktu mulai lari, malah suduken parah (itu lho, sakit di area perut karena habis makan langsung lari-lari). Untung disemangati sama kenalan dan bapak-bapak sekretariat BDK Malang. Bukti Peserta Ujian juga setengah ancur kayak abon soalnya ketumpahan air minum pas habis lari. Suram. 

Diterima. Beruntung. ‘Terpilih’ bukan istilah yang tepat untuk perjuangan yang tidak seberapa.

Lalu dimulailah masa yang lain.

    Mengingat-ingat ke belakang. Semester 2 adalah semester paling hitam dalam sejarah pendidikan saya. Saya kayak mau gila.. Saya belum pernah mengalami rontok rambut begitu banyak, dalam 4-6bulan rambut rontok iseng saya kumpulkan dan memenuhi satu kardus sepatu. Saya ingat pernah menulis di tembok kamar “Hey, I’m stress right now”. Tulisan yang konyol sekarang, walau dulu menulisnya dengan kepala seperti mau meledak. Di semester itu, saya jatuh sekali. Dari dulu saya tidak pernah mau jadi orang yang terlihat bodoh, sayangnya usaha untuk belajar berbanding terbalik. Ini adalah titik balik saya menyadari bahwa usaha tidak akan pernah mengkhianati hasil. Bata besar yang menimpuk kepala berkata, bahwa keberuntungan yang selalu menyelamatkan saya selama ini sudah habis.

    Semester 2 adalah puncak amarah pada orangtua yang memaksa untuk kuliah disini daripada pilihan saya. Saya meninggalkan bakat yang saya naungi sebelumnya. Bercerita dan berbicara. Sedih sekali saat ini saya tidak bisa lagi berargumen dengan baik seperti dahulu waktu SMA. Saya tidak pernah melatihnya disini. Teman-teman saya pendiam. Mereka menolak dalam diam, mereka setuju dalam diam juga. Lama-kelamaan saya pikir percuma bersuara kepada orang tuli, berkacamata kuda fokus pada IP terus. Sampai di tingkat akhir, tepatnya awal semester 5, saya menyesali semuanya. Saya berusaha mengembalikan saya. Yah tapi balik lagi, saat ini argumen saya tidak se-‘nendang’ dulu, tidak elit dan sarkas lagi. Argumen remah-remah peyek.

    Semester 2 adalah momen vakum saya pada literasi juga. Waktu SMA, Angel dan saya adalah 3 besar pembaca buku terbanyak di perpustakaan sekolah. Kami dapat hadiah dan selalu diumumkan tiap tahun. Semester 2 saya tinggalkan buku-buku diluar diktat. Saya vakum membaca buku selain buku kuliah, bayangkan dosa apa leluhur iniiiiii!!! Sama seperti kasus di atas, semester 5 adalah waktu pertama usaha saya untuk kembali belajar membaca, belajar membuat resensi lagi. Meski bila membaca draft resensi lama di laptop membuat nyeri ulu hati karena sebegitu indahnya diksi-diksi itu. Saya tetap berusaha mengembalikan saya.

    Semester 2, saya tinggalkan semua kegiatan organisasi. Padahal itu cara saya berkembang. Batu asahan, untuk sel-sel otak berlabel “kerja tim” dan “strategi” dan “pengambilan jalan tengah cepat” di kepala. Baru sekitaran semester 3 saya mulai ikut kegiatan lagi. Rasanya berbeda, mungkin karena lingkungannya beda. Organisasi disini mental anak kecil, masih banyak yang ingin tampil. Banyak orang kaya yang tidak memperhitungkan orang lain yang ekonominya tidak seberapa. Egois. Sikut-sikutan. Kaget bukan main, saya jadi pilih-pilih lagi.

    Saat ini, semester 6. Minggu terakhir. Apa yang sudah saya lakukan selama kuliah disini? Aksi pengembalian jati diri pascasemester 2 tidak membuat saya terlalu kecewa. Itulah yang menyelamatkan masa kuliah saya daripada hanya termangu tunduk pada buku. Apakah IP saya semester 2 bagus? TIDAK itu IP terburuk sepanjang kuliah, mungkin semeter 6 ini juga sama buruknya. Semangat saya untuk kuliah disini sudah menguap habis. Tinggal sisa-sisa yang masih berusaha saya punguti dan susun lagi.

    Yang saya akan ingat, masa kuliah adalah momen dimana baik dan buruk menjadi sangat bias dan susah dipilah.

    Semua orang punya alasannya sendiri, semua orang mempertahankan alasannya dengan kuat, alasan itu memilih tindakannya sendiri, dan tindakan itu beranak pada konsekuensi yang berbeda.

    Kadang apa yang dari dulu kita anggap benar, saat kuliah menjadi meragukan. Dulu waktu kecil kita punya 2 kotak, hitam dan putih. Waktu kuliah akan ada kotak berukuran lebih besar ketimbang kedua kotak sebelumnya. Kotak itu abu-abu.

    Banyak orang bilang, kuliah adalah masa mencari jati diri. Menurut saya, kuliah adalah masa dimana kita perlahan melepas jati diri yang asli dan memakai topeng baru berlabelkan “diakui dan diterima sosial”. Kita berkompromi, untuk bertahan.

    Mereka yang memelihara dan memoles jati dirinya akan menjadi lebih bold dan lebih bersinar. Sayangnya, mereka yang salah memilih prioritas akan jadi seperti blok mentega dicairkan di teflon. Lebur. Average people. Tidak menarik, tidak hidup, aman dan nyaman di dalam kubahnya. Tidak kemana-mana. Tidak beresiko apa-apa. Tidak ada yang salah dengan pilihan itu. Semua bebas memilih hidupnya.

    Saat ini, semester 6. Minggu terakhir. Jadi inikah jalan hidup yang saya pilih? Aparatur Sipil Negara?

Inikah, faedah kelahiran saya. Dedikasi untuk negara?
Negara yang entah milik siapa?


Saya masih sulit percaya.

Comments