Prakata: Perlu waktu bertahun-tahun untuk saya yakin apakah sebaiknya saya menggunggah ini atau tidak. Karya ini jauh sekali dari kesempurnaan, hanya buah karya dari anak berusia 15 tahun yang wawasannya minim. Namun, saya berharap bisa memuaskan pembaca sekalian.
Berikut adalah ulasan saya.
Malu
(Aku) Jadi Orang Indonesia, Tapi Jauh Lebih Malu Jika Aku Tak Bisa Berbuat
Apa-Apa Untuk Indonesia
A
|
Oleh:
Celina Faramitha Yuwono
kan
tiba saatnya bagi seorang warga negara merasakan ketidakpuasan terhadap situasi
di negeri sendiri. Entah itu dalam lingkup pemerintahan ataupun dalam kehidupan
bermasyarakat. Dalam ulasan kali ini, saya akan mengupas sedikit dari buku
kumpulan puisi Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Siapa yang tidak familiar
dengan judul itu. Buah dari luapan emosi seorang Taufiq Ismail, yng berupa kekecewaan
terhadap pemerintahan Indonesia di kala Orde Baru.
Seperti yang kita ketahui saat ini,
Taufiq Ismail merupakan satu di antara banyak penyair yang mampu menghidupkan
sastra khususnya puisi sebagai media komunikasi. Taufiq dapat membuktikan bahwa
pena memang bisa lebih tajam daripada pedang. Bahwa puisi bukan hanya kata-kata
indah yang nyaris omong kosong belaka. Puisi juga lebih kuat daripada
demonstrasi, anarkisme, tulisan ini bisa menampar jiwa-jiwa culas para
petinggi. Beliau, dengan sangat tegas mengutarakan apa yang ingin kita
teriakkan pada penguasa. Taufiq dengan amat baik menghidupkan sebuah puisi
menjadi wadah bagi gejala kemanusiaan yang tertahan. Puisi jika tidak dibacakan
memang sifatnya nonverbal. Tapi jika benar-benar mau menghayati satu saja dari
sekian banyak puisi dari Taufiq, kita akan merasa bahwa hal itu nyata dan dalam
sekali. Bahkan pada beberapa puisi, saya dapat merasakan bahwa masalah yang
dialami bangsa kita dari tahun ke tahun sama saja.
Barangkali, kepekaan terhadap
masalah sosial, politik dan budaya yang dimiliki Taufiq berlatar belakang pada
riwayat hidup pribadinya yang memang kental sekali dengan sejarah Indonesia. Taufiq
memang memiliki masa keemasan pada masa orde baru sampai reformasi. Tapi jangan
salah, kejayaannya sesungguhnya tidak pernah berakhir. Sampai saat ini
puisi-puisinya masih dijadikan tolak ukur dan bahan pembelajaran bagi sastrawan
dan pelajar. Selain itu, pada masanya beliau juga menunjukkan keterlibatan
penuh dalam partisipasi memajukan budaya Indonesia.
Saya akan membahas sebuah puisi yang
menarik hati saya pribadi. Puisi-puisi ini mewakili politik, ekonomi, sosial
dan budaya Indonesia pada Orde Baru – Reformasi. Secara tersurat, tema dari
puisi ini adalah kehidupan masyarakat Indonesia pada zaman Orde Baru-Reformasi.
Keunggulan puisi-puisi Taufiq Ismail ini adalah sudut pandang pengarangnya
multidimensional atau bisa memposisikan diri menjadi siapa pun. Puisi ini memberi
gambaran kepada pembaca berupa imaji penglihatan dan perasaan mengenai sejumlah
perilaku negatif orang Indonesia. MAJOI memiliki gaya bahasa yang lugas dan
langsung ke topik pemasalahan, namun juga diselingi kata-kata konkret yang
menimbulkan sejumlah teka-teki yang menuntut kita berpengetahuan luas untuk
bisa mengerti isi puisi itu sendiri. Diksi yang dipilih Taufiq tidak begitu
rumit, bahasa sehari-hari. Puisi ini
bersifat memberontak.
MALU (AKU) JADI ORANG
INDONESIA
“I
Ketika di Pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia
Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut merdeka dari Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia
Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utama
Dan kecil-kecilan aku narasumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia
Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph.D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini”
Nah,
bagian pertama dari puisi ini menceritakan kehidupan pribadi dari Taufiq
Ismail. Bisa kita analisis beliau mendapatkan kesempatan untuk pertukaran
pelajar. Yang memang benar pada tahun 1965 saat duduk di kelas 12 SMA Regina
Pacis, Pekalongan. Taufiq lolos tes AFS International Scholarship dan dikirim
ke Wisconsin, Amerika Serikat. Dulunya Taufiq merasa bangga menjadi WNI. Secara
tersurat beliau menjelaskan sering menceritakan kisah-kisah perjuangan pada
sahabatnya di Wisconsin yang bernama Thomas Stone. Bagaimana Indonesia dengan pertumpahan
darah memperoleh kemerdekaan dan dengan bangganya bisa bebas dari belenggu
kompeni Belanda yang menjajah selama 350 tahun. Tetapi ada rasa malu pada
dirinya di kemudian hari, dapat kita temukan pada bait keempat “Dulu dadaku tegap bila aku berdiri Mengapa
sering benar aku merunduk kini.”. Saat membaca baris ini, tentu kita semua
masih bertanya-tanya mengapa seorang Taufiq yang berkewarganegaraan Indonesia
bisa rendah diri? Apa sih penyebabnya? Mari kita simak kupasan bagian
selanjutnya.
“II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata “
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia”
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata “
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia”
Taufiq adalah seorang sastrawan yang
rajin mempublikasikan karyanya ke luar negeri. Beliau berkali-kali pergi ke tempat-tempat
berbeda di dunia untuk membacakan puisinya. Bagi Taufiq, puisi akan memperoleh
bentuk dan tubuh yang “utuh” bila
dibaca. Nah, ditengah kesibukannya, Taufiq membandingkan negara kita dengan
negara-negara yang pernah beliau kunjungi sebelumnya. Negara kita jelas beda
jauh. Bukannya merendah berlebihan, tapi memang tidak ada yang bisa
dibanggakan.
“
III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,
Di negeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi
berterang-terang curang susah dicari tandingan,
Di negeriku anak lelaki anak perempuan, kemenakan, sepupu
dan cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek
secara hancur-hancuran seujung kuku tak perlu malu,
Di negeriku komisi pembelian alat-alat berat, alat-alat ringan,
senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu dan
peuyeum dipotong birokrasi
lebih separuh masuk kantung jas safari,
Di kedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal,
anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden,
menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati,
agar orangtua mereka bersenang hati, “
Dalam
beberapa bait di atas tentu kita dapatkan informasi maraknya KKN pada zaman
itu. Pada bait pertama bagian II dituturkan tentang persekongkolan birokrasi.
Yang bisa dikerucutkan kolusi
merajalela, sudah menjadi rahasia umum dan anehnya tak tertandingi. Bayangkan
betapa parahnya... Pada bait selanjutnya dan bait terakhir diterangkan betapa
mudahnya seorang anak dari PNS masuk ke dalam intansi pemerintahan karena
relasi keluarga atau teman atau temannya orangtua, temannya temannya orangtua. Nepotisme membabi-buta. Orang-orang jabatan
kecil juga melayani anak-anak dari petinggi supaya dapat perhatian lebih dan
jabatannya dinaikkan. Yang terakhir dan tidak tanggung-tanggung KORUPSI. Kata krismon bukan kata yang asing. Sejarah mencatat bahwa pada
saat itu harga-harga kebutuhan melambung tinggi. Dahsyat, kenaikan harga
sembako dan barang-barang mencapai 200%. Kenaikan itu menjadikan petinggi
semakin kaya, dan rakyat kecil semakin miskin. Sampai-sampai tercipta suatu
ironi “harta penguasa takkan habis sampai 7 turunan”. Dengan membaca bagian ini
saja kita semua menyadari, sengsaranya penduduk Indonesia pada waktu itu.
“Di negeriku penghitungan suara pemilihan umum
sangat-sangat-sangat-sangat-sangat jelas
penipuan besar-besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan, “
Dalam
kurun waktu 32 tahun, setelah Supersemar 66’ sampai Reformasi 98’ Golkar
berturut-turut menang mutlak. Soeharto diangkat menjadi presiden seumur hidup.
Pada kala itu PNS, ibu-ibu PKK mendukung Golkar habis-habisan. Hal ini menurut
saya pribadi cenderung kearah paksaan. Karena PNS yang tidak memilih partai itu
dianggap tidak berbalas budi terhadap jasa Golkar menumpas PKI.
“Di negeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan
sandiwara yang opininya bersilang tak habis
dan tak utus dilarang-larang, “
Dulu
pers tidak seperti sekarang ini, kewenangan mereka untuk menyebarluaskan berita
dibatasi. Banyak kasus-kasus mengenai dibunuhnya wartawan ataupun penulis
rubrik di media massa, penyiar di radio. Mereka dibunuh atau dipenjara karena
dianggap menjelekkan nama negara sendiri, berkhianat pada pemerintah. Banyak
juga seniman-seniman yang menyanyikan lagu seperti Iwan Fals, ditangkap. Bahkan
sastrawan banyak yang dijebloskan ke hotel prodeo contohnya WS Rendra.
“Di negeriku dibakar pasar pedagang jelata
supaya berdiri pusat belanja modal raksasa, “
Berkaitan dengan pembangunan mall maupun grand-mall besar-besaran yang jelas-jelas mematikan nafkah bagi
para pedagang kecil di pasar yang kehidupannya menengah ke bawah.
“Di negeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah,
ciumlah harum aroma mereka punya jenazah,
sekarang saja sementara mereka kalah,
kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka
oleh satpam akhirat akan diinjak dan dilunyah lumat-lumat, “
Marsinah
adalah nama aktivis yang meninggal karena dibunuh. Marsinah dan 25 temannya
berunjuk rasa menuntut kesejahteraan buruh. Tapi pada tahun 1993 Marsinah
ditemukan sudah tak bernyawa di sebuah gubuk di hutan. Kasus ini akan
kadaluarsa tahun depan, tapi tidak juga diusut pihak berwajib. Sementara Udin
atau Fuad Syaffruddin merupakan wartawan koran Bernas Jogjakarta. Diduga dia
dibunuh karena wacana politik yang ia tulis mengenai Pemerintah Daerah Bantul
dan bupatinya. Udin mati karena disiksa oleh sekelompok orang tak dikenal pada
tahun 1966. Kasus ini juga tidak ditelusuri seperti kasus Marsinah, padahal
tahun 2014 dianggap kadaluarsa dan tidak akan dilakukan penyidikan.
“Di negeriku keputusan pengadilan secara agak rahasia
dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual-beli,
kabarnya dengan sepotong SK
suatu hari akan masuk Bursa Efek Jakarta secara resmi, “
Hukum bisa dibeli dan hal ini sudah
menjadi rahasia umum.
“Di negeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan,
lima belas ini-itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,”
Tidak ada harga yang murni harga.
Banyak pungutan liar, orang-orang yang narget,
malak, moroti rakyat. Tidak kenal usia, tidak kenal gender.
“Di negeriku telepon banyak disadap, mata-mata kelebihan kerja,
fotokopi gosip dan fitnah bertebar disebar-sebar, “
Media sudah diragukan kebenarannya.
Karena banyak yang cuma memberitakan kebohongan. Orang sukar memperoleh
privasi, karena telepon disadap dan mata-mata mengawasi.
“Di negeriku sepakbola sudah naik tingkat
jadi pertunjukan teror penonton antarkota
cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita
tak pernah bersedia menerima skor pertandingan
yang disetujui bersama,
Di negeriku rupanya sudah diputuskan
kita tak terlibat Piala Dunia demi keamanan antarbangsa,
lagi pula Piala Dunia itu cuma urusan negara-negara kecil
karena Cina, India, Rusia dan kita tak turut serta,
sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja, “
Sampai
sekarang lho, dua bait ini tetap terasa nyata. Ya, sepak bola di Indonesia
ternyata dari tahun ke tahun bukannya semakin membaik namun malah semakin
memburuk. Suppoter dari kesebelasan yang satu dengan yang lainnya saling mengolok.
Tidak jarang terjadi perkelahian hingga jatuh korban jiwa. Permainan olahraga
bukannnya malah menjujung tinggi sportivitas, tapi malah rasa tidak terima atas
kekalahan. Sifat-sifat pecundang yang sukar hilang dari mental bangsa
Indonesia. Pasti kita semua tahu kan? Supporter fanatik yang semakin mencoreng
persebakbolaan di Indonesia?
“Di negeriku ada pembunuhan, penculikan
dan penyiksaan rakyat terang-terangan di Aceh,
Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng,
Nipah, Santa Cruz dan Irian,
ada pula pembantahan terang-terangan
yang merupakan dusta terang-terangan
di bawah cahaya surya terang-terangan,
dan matahari tidak pernah dipanggil ke pengadilan sebagai
saksi terang-terangan,
Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,
tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang
menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.”
Saya
akan menceritakan salah satu dari peristiwa sadis di atas. Peristiwa Talangsari,
Lampung. Tidak lain adalah pembantaian seluruh kelompok Warsidi, desa
Talangsari. Pembantaian ini dilakukan pengusaha karena kelompok Warsidi dirasa
mengganggu ketertiban dan harus dibinasakan. Peristiwa ini terjadi pada tahun
1989. Semua kasus di atas tidak pernah ditangani. Hanya dibiarkan sebagai
histeria massa . Lalu menguap begitu saja. Orang-orang yang terlibat tidak
pernah dipanggil. Memang kala itu ideologi nasakom (Nasionalis, Sosialis, dan
Komunis) sudah diganti dengan ideologi Pancasila yang mengharuskan umatnya
memeluk satu agama. Tapi semuanya masih teori, dalam kehidupan nyata,
nyawa-nyawa para penuntut hak asasi melayang dengan mudahnya.
“IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata “
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia”
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak-serak
Hukum tak tegak, doyong berderak-derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, ebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Élysées dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung di belakang hitam kacamata “
Dan kubenamkan topi baret di kepala
Malu aku jadi orang Indonesia”
Terjadi
pengulangan bait yang sama persis pada bagian IV. Itu berarti bagian ini sangat
ditekankan oleh Taufiq. Intinya dari puisi ini, walaupun Indonesia sudah
merdeka dari tangan penjajah, Indonesia masih dijajah kaum sendiri. Banyak
masalah politik, ekonomi, sosial, serta budaya yang masih harus dibenahi.
Puisi
ini juga tergolong ‘kaya’ karena walaupun puisinya satu, puisi ini mencakup permasalahan
yang ingin kita ketahui.
Semoga
dengan puisi ini kita terbangun dari buaian. Jangan cuma mengkritik dan
menuntut. Berdiri dan mulai lakukan sesuatu demi majunya Negara Kesatuan Republik
Indonesia milik kita.
Taufiq
Ismail sudah berkarya. Mari kita lanjutkan! Semangat!
*
Saya mengucapkan terimakasih untuk Bu Anik, guru bahasa Indonesia SMAN 9 Malang yang mempercayai kemampuan saya. Bahkan, dikala beberapa orang meremehkan dan saya sendiri bimbang. Satu minggu pembuatan karya perdana saya yang penuh pergolakan batin.
Berkat Ibu pula saya dapat memberi sumbangsih tulisan ini, sehingga bisa memperoleh penghargaan tertinggi, piala Balai Bahasa Kota Malang di tahun 2012 dan mengharumkan nama sekolah saya, serta akses langsung bagi saya ke UB Sastra Indonesia(tapi gak diambil).
Karya ini sepenuhnya saya dedikasikan untuk Bu Anik, Bu Ambar, Mama serta sahabat kos-kosan saya Mala dan Peni yang ikhlas MacBooknya dipinjam untuk membuat presentasi super apik.
Assalamu'alaikum, saya izin untuk menggunakan tulisan Anda sebagai referens untuk kegiatan ujian praktik. terimakasih:)
ReplyDeleteSebelumnya, terimakasih, tulisan Anda sannat membantu:) sukses untuk seterusnya. terus berkarya!
ReplyDeleteBoleh saja, jangan lupa cantumkan sumbernya ya :) Semoga sukses ujian praktiknya.
ReplyDelete